Selamat Datang di Website Resmi KPU Kabupaten Sanggau | Pengumuman Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sanggau Terpilih Periode 2025-2030 | Terima Kasih Kepada Masyarakat dan Seluruh Pihak yang Telah Mendukung Suksesnya Pilkada Serentak 2024 di Kabupaten Sanggau

Headline

#Trending

Informasi

Opini

Pancasila Sebagai Fondasi Moral Bangsa dan Tantangan dalam Penerapannya

Sanggau, kab-sanggau.kpu.go.id I Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia yang digali dari nilai-nilai luhur akar budaya bangsa. Kelima silanya tidak hanya merupakan rumusan ideologis, tetapi juga cerminan dari cita-cita dan identitas nasional bangsa Indonesia. Dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila seharusnya menjadi pedoman etis, moral, dan spiritual dalam segala aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan dalam hubungan antarindividu dalam kehidupan sehari-hari. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa implementasi nilai-nilai Pancasila masih menghadapi banyak tantangan serius. Rasa empati, kebersamaan, tolong-menolong, saling menghormati, saling menghargai, dan gotong royong pelan namun pasti mulai hilang dari khazanah kehidupan sebagai bangsa. Saya ingin mengurai makna dari setiap sila Pancasila serta menyampaikan tantangan-tantangan aktual yang kerap menghambat pengamalannya. Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ mencerminkan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler (negara bersikap netral dalam urusan agama), tetapi juga bukan negara teokrasi (pimpinan negara tertinggi dipegang oleh pemuka agama). Negara mengakui keberadaan Tuhan dan menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga negara. Namun, dalam praktiknya, masih banyak terjadi intoleransi atas dasar agama dan kepercayaan. Kelompok minoritas kerap mengalami diskriminasi, baik dalam kebebasan beribadah maupun dalam kehidupan sosial sehari-hari. Ironisnya, agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian dan sumber kebaikan justru kadang dijadikan alat untuk memecah belah. Radikalisme atas nama agama masih menjadi ancaman nyata, baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Tantangannya adalah bagaimana menanamkan pemahaman agama yang inklusif dan toleran, serta memperkuat pendidikan demokrasi, pendidikan multikultural, dan kebinekaan kepada generasi bangsa di semua jenjang pendidikan yang ada. Sila Kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’, sila ini menekankan kepada kita pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia, keadilan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, kenyataannya, pelanggaran terhadap prinsip ini masih sering terjadi, baik dalam bentuk kekerasan, perundungan, perdagangan manusia, diskriminasi gender, maupun pelanggaran HAM oleh aparat negara. Indonesia masih menghadapi persoalan kemanusiaan yang kompleks, seperti ketimpangan sosial yang tinggi, minimnya akses terhadap keadilan hukum bagi masyarakat miskin, dan masih lemahnya perlindungan terhadap kelompok rentan. Tantangan terbesar di sini adalah menanamkan budaya saling menghargai, memperkuat sistem hukum yang adil, dan memastikan bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh rakyatnya. Sila Ketiga ‘Persatuan Indonesia’, Indonesia adalah negara kepulauan dengan ratusan suku, bahasa, dan budaya. Sila ketiga ini mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman. Namun, tantangan yang dihadapi sangat besar. Polarisasi politik, konflik horizontal, sentimen SARA, dan penyebaran hoaks telah menggerus semangat persatuan. Persatuan tidak bisa hanya dimaknai sebagai keseragaman, tetapi justru menghormati perbedaan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sayangnya, fanatisme kelompok, baik dalam bentuk etnosentrisme (hanya kelompoknya yang paling baik) maupun religiositas sempit, sering kali membuat masyarakat mudah terpecah belah. Perlu penguatan kembali terhadap identitas nasional yang inklusif, serta peran aktif pendidikan karakter untuk menanamkan rasa cinta tanah air yang tidak sempit. Sila Keempat ‘Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan’, menekankan prinsip demokrasi yang sehat, yaitu keterlibatan rakyat melalui wakil-wakilnya, dan pengambilan keputusan secara musyawarah. Namun, wajah demokrasi Indonesia hari ini sering kali dicederai oleh praktik politik transaksional, pragmatisme, dan rendahnya integritas sebagian elite politik kita. Masyarakat kerap merasa jauh dari proses pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka. Musyawarah digantikan oleh voting tanpa substansi, dan wakil rakyat terkadang lebih sibuk memperjuangkan kepentingan partai atau pribadi dibandingkan aspirasi konstituen. Tantangan kita adalah menghidupkan kembali semangat demokrasi deliberatif (penekannya pada musyawarah mufakat), memperkuat partisipasi publik dalam proses politik, serta membangun sistem politik yang lebih transparan dan akuntabel. Sila Kelima ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’, sila kelima merupakan tujuan akhir dari semua sila sebelumnya. Negara harus menjamin pemerataan kesejahteraan, keadilan ekonomi, dan kesempatan yang setara bagi semua warga negara. Namun, ketimpangan ekonomi di Indonesia masih tinggi. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan belum merata. Banyak wilayah di Indonesia yang tertinggal secara ekonomi dan infrastruktur. Sementara di sisi lain, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan terhitung merajalela, hal ini menghambat terwujudnya kesejahteraan yang merata. Tantangan terbesar adalah bagaimana menyeimbangkan pembangunan agar tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang di kota-kota besar, serta memastikan bahwa setiap kebijakan publik benar-benar berpihak kepada rakyat kecil. Jika kondisi ini sudah dianggap akut, maka mau tidak mau negara harus hadir dan tegas berpihak, misalnya segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor untuk kemudian dikelola dengan baik demi pemerataan kesejahteraan rakyat. Kesaktian Pancasila sudah teruji, dan Pancasila bukan hanya teks yang dihafal di sekolah, melainkan harus menjadi nilai yang dihayati dan diamalkan dalam kehidupan nyata. Setiap sila saling berkaitan dan membentuk sistem nilai yang utuh. Jika satu sila diabaikan, maka harmoni kehidupan berbangsa akan terganggu. Tantangan-tantangan yang kita hadapi dalam mengamalkan Pancasila bukan hal sepele. Diperlukan komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa pemerintah, masyarakat, tokoh agama, pendidik, dan generasi muda untuk menjadikan Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga jiwa dan karakter kita dalam kehidupan bangsa dan bernegara. Selamat Hari Kesaktian Pancasila. (JUHARI, anggota KPU Kabupaten Sanggau)

Petani adalah Pahlawan

kab-sanggau.kpu.go.id I Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 September, bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah momentum penting untuk mengingatkan kita semua bahwa ketahanan pangan Indonesia bertumpu pada kerja keras para petani di pelosok negeri. Selain itu, hari ini juga menjadi momentum evaluasi terkait kondisi petani dan sistem pertanian kita saat ini. Tanggal ini dipilih sebagai Hari Tani Nasonal bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960, yang menjadi tonggak perjuangan reforma agraria di Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan menciptakan keadilan agraria, memastikan bahwa tanah Indonesia tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang. Tanah harus terdistribusi secara adil dan merata kepada seluruh rakyat Indonesia. Petani tidak boleh lagi hanya menjadi penggarap tanah seperti Marhaen pada tahun 1926-1927. Petani harus memiliki kedaulatan atas hak tanahnya, sebagaimana rakyat memiliki kedaulatan atas bangsa ini. Saat ini, petani dihadapkan pada berbagai problematika, mulai dari arus modernisasi sistem pertanian, perubahan iklim, hingga kebijakan pemerintah yang sering kali tidak berpihak kepada kaum tani. Pupuk yang mahal bahkan langka, serta hasil panen yang harus bersaing dengan produk impor akibat persekongkolan pengusaha dan pejabat korup. Kondisi ini jika dibiarkan, perlahan namun pasti akan membunuh semangat para petani untuk menanam dan melunturkan minat anak muda untuk menjadi petani. Jika terus dibiarkan, tidak mustahil bangsa yang memiliki tanah luas dan subur ini hanya akan menjadi pasar bagi bangsa lain. Di tengah keterbatasan dan situasi yang tidak pasti ini, petani tetap bekerja tanpa lelah menyentuh tanah, menanam benih, dan memberi makan seluruh negeri. Kita sering mendengar slogan “Petani adalah tulang punggung bangsa,” tetapi sudahkah kita benar-benar menghargai mereka? Apakah kita memilih produk lokal daripada impor yang murah? Apakah kebijakan pemerintah sudah cukup berpihak pada petani kecil? Sudahkah generasi muda tertarik kembali ke sektor pertanian? Hari Tani bukan hanya perayaan, tetapi juga panggilan untuk perubahan. Keadilan agraria tidak boleh hanya menjadi wacana, dan pertanian harus menjadi sektor yang membanggakan. Harapan itu masih ada dan terbuka lebar. Tinggal bagaimana negara mengambil sikap untuk terus berpihak kepada petani, membasmi pejabat korup yang bersekongkol dengan pengusaha, dan terus memberikan stimulan kepada anak muda untuk bertani. Sampaikan kepada mereka bahwa petani bukan sekadar profesi, tetapi jalan hidup yang mulia. Kita semua juga punya peran untuk menumbuhkan gairah petani kita, yaitu dengan cara membeli buah-buahan dari petani kita, membeli beras dari hasil petani kita, membeli rempah-rempah hasil petani kita, dan membeli apa pun yang dihasilkan oleh petani kita. Di Hari Tani ini, mari kita berikan lebih dari sekadar ucapan terima kasih. Mari kita berikan kebijakan yang adil, akses yang merata, dan harga yang layak. Karena tanpa petani, tidak ada nasi di piring kita. Karena mereka yang menyemai, agar kita semua bisa menuai. Selamat Hari Tani Nasional 2025 (JUHARI, anggota KPU Kabupaten Sanggau)

Buku sebagai Jendela Dunia

kab-sanggau.kpu.go.id I Pernahkah kita membayangkan bisa menjelajahi dunia, memahami beragam budaya, ilmu pengetahuan, bahkan masa lalu dan masa depan semuanya tanpa harus beranjak dari tempat duduk kita, Buku memungkinkan kita untuk melakukan semua itu. Tak heran jika ada pepatah yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia.  Buku membuka cakrawala berpikir dan memperluas wawasan. Lewat buku, kita bisa mempelajari sejarah peradaban manusia, menggali pengetahuan sains dan teknologi, hingga meresapi karya sastra dari berbagai belahan dunia. Buku bukan hanya kumpulan kata-kata, tetapi juga representasi dari pemikiran, emosi, dan pengalaman hidup manusia yang dikemas untuk dibagikan kepada generasi berikutnya. Dalam era digital seperti sekarang, buku memang mulai bersaing dengan berbagai media lain. Namun, buku tetap memiliki tempat istimewa. Membaca buku melatih konsentrasi, memperkaya kosa kata, dan memperdalam pemahaman sesuatu yang sering sulit diperoleh dari bacaan singkat di media sosial. Lebih dari sekadar sumber informasi, buku juga bisa menjadi teman sejati. Di saat sunyi, buku mampu menghibur dan memberikan inspirasi. Di saat bingung, buku menawarkan jawaban dan arah. Oleh karena itu, menanamkan kebiasaan membaca sejak dini adalah investasi berharga untuk masa depan. Akhir kata, mari kita jaga dan hidupkan kembali semangat membaca. Sebab, semakin banyak buku yang kita baca, semakin luas dunia yang bisa kita lihat dan pahami. Buku sebagai Jendela Dunia  Pernahkah kita membayangkan bisa menjelajahi dunia, memahami beragam budaya, ilmu pengetahuan, bahkan masa lalu dan masa depan semuanya tanpa harus beranjak dari tempat duduk kita alias sambil Pi kopian, Buku memungkinkan kita untuk melakukan semua itu. Tak heran jika ada pepatah yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia.  Buku membuka cakrawala berpikir dan memperluas wawasan kita. Lewat buku, kita bisa mempelajari sejarah peradaban manusia, menggali pengetahuan sains dan teknologi, hingga meresapi karya sastra dari berbagai belahan dunia. Buku bukan hanya kumpulan kata-kata, tetapi juga representasi dari pemikiran, emosi, dan pengalaman hidup manusia yang dikemas untuk dibagikan kepada generasi berikutnya. Dalam era digital seperti sekarang, buku memang mulai bersaing dengan berbagai macam media sosial yang semuanya menyajikan informasi nyaris peripurna apapun yang kita butuhkan tersaji di dalamnya. Namun, buku tetap memiliki tempat istimewa. Membaca buku melatih konsentrasi, memperkaya kosa kata, dan memperdalam pemahaman sesuatu yang sering sulit diperoleh dari bacaan singkat di media sosial. Lebih dari sekadar sumber informasi, buku juga bisa menjadi teman sejati. Di saat sunyi, buku mampu menghibur dan memberikan inspirasi. Di saat bingung, buku menawarkan jawaban dan arah. Oleh karena itu, menanamkan kebiasaan membaca sejak dini Selain bernilai ibadah adalah investasi berharga untuk masa depan.  Akhir kata, mari kita jaga dan hidupkan kembali semangat membaca. tentu selain membaca buku kita juga harus cermat membaca situasi apakah para wakil yang telah kita pilih melalui proses demokrai itu benar benar membawa dan memperjuangkan aspirasi kita kalau tidak tentu kita harus pandai pandai membaca situasi ini dengan baik agar kedepan mereka tidak hanya sebagai pelengkap tapi mampu menjadi penyambung lidah rakyat menuju kehidupan yang Sejahtera. (JUHARI, Anggota KPU Kabupaten Sanggau)

Publikasi